Sang Pencari

Setetes Kesejukan
Serambi | Tauhid | Syariat | Tasawwuf | Hikmah | Tokoh Sufi | Favorite Links | Hubungi sang pencari | Setetes Kesejukan

TIGA JALAN MENUJU TUHAN

 

Ada tiga macam cara para Abid menyembah tuhannya :

 

  1. Dengan cara takut dosa.Ciri-cirinya : memandang rendah akan dirinya, merasa sedikit kebaikannya, dan merasa tak terhingga kejahatannya.
  2. Dengan cara menabur asa.ciri-cirinya : menjadi panutan bagi sesamanya, menjadi penderma yang merasa tidak butuh harta benda, dan berbaik sangka pada seluruh makhluk didunia.
  3. Dengan Jalan mencinta.Ciri-cirinya : mendermakan harta yang masih disuka, mendorong dirinya melakukan darma, dan merasa selalu bersama tuhannya.

 

(Khalifah Abu bakar r.a)

naqs.jpg

Kumpulan Sohbet Thariqat Naqshbandi

Laylatul Qadr

Maulana Sulthanul Awliya’ Syaikh Muhammad Nazhim ‘Adil al-Haqqani

Laylatul Qadr, Selasa, 11 Desember 2001

Lefke, Siprus Turki, sohbet kedua


Malam ini adalah malam Laylatu-l Qadar yang suci. Tidak semua orang mencapainya. Manusia tertidur, dan setelah itu mereka menyesal karena mereka kehilangan malam ini. Sementara itu, yang lain terlihat terjaga, tetapi mereka lalai, dan karena itu mereka tidak melihat apa-apa. Kita memohon agar dapat memperoleh malam suci ini dan dihitung sebagai orang yang berhasil mencapainya…

 

Ada kekayaan yang tampak dan ada pula kekayaan yang tidak tampak--beberapa orang kaya di dunia, sementara yang lain kaya di akhirat. Jika kalian datang mendekati mereka yang kaya di dunia ini, mungkin kalian akan mendapat sesuatu dan mereka mungkin tidak akan membiarkan kalian pulang dengan tangan hampa. Tetapi, mereka yang kaya di akhirat akan selalu memberi. Jika suatu kapal yang dipenuhi barang-barang akan berlabuh di sini, tidakkah akan Saya bagikan barang-barang itu kepada ummat? Saya akan panggil mereka yang miskin. Dan siapa yang memberikan uang dan hartanya demi Allah tidak akan pernah habis. Dan siapa yang memiliki kedudukan di akhirat akan memberi kepada orang yang mengikuti mereka untuk akhirat…

Pada malam ini Allah membuka suatu rahmat dari samudera-samudera-Nya, sehingga Dia memberikan nya secara melimpah kepada orang yang mendapatkan malam ini. Faiz (kekayaan) dari malam ini juga sampai kepada kita… Malam ini adalah malam yang paling tinggi barakahnya di antara semua malam. Kita mencoba untuk memenuhi kewajiban kita, tetapi kita tidak mampu untuk berbuat adil kepada Allah. Betapa jauh diri kita dari melayani-Nya menurut cara yang patut bagi-Nya. Apa yang kita lakukan sebenarnya hanya memiliki nilai simbolik belaka…

Bulan ini berlalu demikian cepatnya. Kita berpuasa, tetapi kita bukannya kehilangan, justru vitalitas kita bertambah terus. Jika Islam tidak haqq (benar), bagaimana mungkin suatu perintah sejak 15 abad yang lampau masih tetap berlaku dan satu miliar orang melaksanakan puasa? Suatu mobil tidak bisa berjalan tanpa bahan bakar. Jika tidak ada suatu kekuatan spiritual yang sedang dan tetap bekerja sejak 15 abad lalu, tentu Islam tidak akan bertahan hingga sekarang. Ada suatu kekuatan penggerak bagi Islam. Adakah orang yang merasa bosan terhadap suatu mata air yang segar? Saat Ramadhan dimulai, kalbu-kalbu kita dipenuhi dengan kegembiraan. Jika tidak, tentu mereka bukanlah Muslim. Siapa yang menghormati malam suci ini tidak akan jatuh ke jurang krisis. Dan siapa yang tidak menghormati malam ini, dia akan dicatat dan ditandai oleh malaikat sebagai berikut, di pagi hari–dia tidak melakukan sujud. Tengah hari, tidak melakukan sujud. Sore hari, malam dan dini hari tidak melakukan sujud…. Allah telah menyeru manusia untuk shalat, dan mereka tidak memenuhi seruan-Nya. Segala sesuatunya dicatat, tidak peduli siapa orangnya dan apa kedudukannya. Saya harus memberitahukan tentang hal ini pada kalian dan menasihati kalian.

Bagi setiap orang, akan tiba hari terakhirnya. Dan kematian adalah penuh dengan heybet, sedemikian rupa hingga seseorang tidak mau dan tidak dapat melalui satu malam atau bahkan satu jam di dalam kubur di samping mayat seseorang yang telah mati, demikianlah ketakutan di tempat seperti itu. Setiap orang akan sendiri di kuburnya masing-masing, dan hanya ada kegelapan… Berusahalah untuk meninggalkan tubuh kalian dalam keadaan bersih demi ruh kalian… Ada seseorang pada zaman Rasulullah saw yang kalbunya dipenuhi kecintaan pada beliau dan selalu berusaha merayakan Maulid Rasulullah . Orang itu amat terberkahi sehingga ketika dia wafat, badan spiritual dari Rasulullah sendiri yang datang untuk mengambil ruhnya. Ruhnya pergi dengan bersih dan suci, dengan suatu wangi yang harum. Adalah penting untuk pergi dalam keadaan suci dan baik, agar para malaikat pun menerima kalian dengan baik.

Jangan Biarkan Hatimu Mati

 

“Diantara tanda-tanda matinya hati adalah jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan

keselarasan taat kepada Allah, dan tidak menyesali perbuatan dosa anda.”

Hati yang mati disebabkan oleh berbagai penyakit kronis yang menimpanya. Manakala hati seseorang tidak sehat, maka hati tentu sedang terserang penyakit-penyakit hati. Penyakit hati itu begitu banyak yang terkumpul dalam organisasi Al-Madzmumat, dengan platform gerakan yang penuh dengan ketercelaan dan kehinaan, seperti takabur,

ujub, riya’, hubbuddunya(mencintai dunia), kufur, syirik, dan sifat-sifat tercela lainnya. Ketika sikap-sikap mazmumat ini dihadapan pada kepentingan Allah, maka akan muncul tiga hal:

Manusia semakin lari dari Allah, atau dia justru memanfaatkan simbol-simbol Allah untuk kepentingan hawa nafsunya, atau yang terakhir dia dibuka hatinya oleh Allah melalui HidayahNya.

Ibnu Ajibah menyimpulkan dari al-Hikam di atas, bahwa kematian hati (qalbu) karena tiga hal:

             1. Mencintai dunia,

             2. Alpa dari mengingat Allah,

             3. Membiarkan dirinya bergelimang maksiat.

Sebaliknya faktor yang menyebabkan hati hidup, juga ada tiga:

             1. Zuhud dari dunia

             2. Sibuk dizikrullah

             3. Bersahabat dengan Kekasih-kekasih Allah

sedangkan tanda-tanda kematian hati juga ada tiga:

-  Jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah.

- Tidak menyesali dosa-dosanya.

- Bersahabat dengan manusia-manusia yang lupa pada  Allah yang hatinya sudah mati.

Kenapa demikian? Karena munculnya kepatuhan kepada Allah merupakan tanda kebahagiaan hamba Allah, sedang munculnya hasrat kemaksiatan merupakan tanda kecelakaan hamba. Apabila hati hidup dengan ma’rifat dan iman maka faktor yang

menyiksa hati adalah segala bentuk yang membuat hati menderita berupa kemaksiatan hati kepada Allah. Yang membuatnya gembira adalah faktor ubudiyah dan kepatuhannya kepada Allah.Boleh saja anda mengatakan: Jika seorang hamba Allah bisa taat dan

melaksanakan ubudiyah, itulah tanda bahwa hamba mendapat Ridlo Allah. Hati yang hidup senantiasa merasakan Ridlo Allah, lalu bergembira dengan ketaatan padaNya.

Jika seorang hamba Allah bermaksiat kepadaNya, itulah pertanda Allah menurunkan amarahNya. Hati yang mati tidak merasakan apa-apa, bahkan sentuhan taat dan derita maksiat tidak membuatnya gelisah. Sebagaimana yang dirasakan oleh mayit, tak ada rasa hidup atau rasa mati.Rasulullah saw, bersabda, “Orang yang beriman adalah orang yang digembirakan oleh kebajikannya, dan dideritakan oleh kemaksiatannya.”

Soal Respon Terhadap Dosa Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan, agar dosa dan masa lalu, jangan sampai membelenggu hamba Allah, yang menyebabkan sang hamba kehilangan harapan kepada Allah. Karena itu, rasa bersalah yang berlebihan yang terus menerus menghantui hamba harus dibebaskan dari dalam dirinya. Sang hamba harus tetap optimis pada masa depan ruhaninya di depan Allah.

Kebesaran ampunan Allah tidak bisa dilampaui oleh seluruh dosa-dosa hambaNya. Ampunan Allah lebih agung, lebih besar dan lebih kinasih, pada hambaNya yang bertobat. Karena itu Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri.”Oleh sebab itu jangan sampai perbuatan maksiat itu membuat hamba-hamba Allah menjadi Su’udzon kepada Allah.

 “Dosa besar apa pun, jangan sampai menghalangi Husnudzon (baik sangka) anda kepada Allah.”

Wacana ini sekaligus mengingatkan kita pada pembuka kitab Al-Hikam, “Diantara tanda-tanda bergantung atau mengandalkan amal adalah rasa pesimis kepada rahmat Allah ketika sang hamba berbuat dosa.”

Jika anda masih mengandalkan amal, bukan mengandalkan Allah, berarti anda akan pesimis jika kesalahan menimpa anda. Padahal kita harus menggantungkan diri pada Allah, mengandalkan Allah, bukan mengandalkan amal. Karena mengandalkan amal, bisa menciptakan rasa arogansi spiritual, dengan merasa paling banyak beramal dan taat, kemudian merasa paling benar, paling dekat dengan Allah.

Dalam soal harapan dan ketakutan, biasanya hamba terbagi menjadi tiga golongan;

-  Golongan pemula, biasanya terliputi oleh rasa khawatir dan takut, dibanding dorongan harapan.

-  Golongan menengah, biasanya seimbang antara harapan dan ketakutannya.

- Golongan yang sudah sampai kepada Allah, lebih didominasi rasa harapan yang optimis kepada Allah.

Inilah yang tergambar pada saat gurunya Al-Junaid, Sarry as-Saqathy dalam kondisi

Maqbudl (terhimpit oleh suasana ruhaninya dalam Genggaman Allah). “Ada apa gerangan wahai paman?” Tanya Junaid. “Oh, anakku, ada seorang pemuda datang kepadaku, kemudian bertanya  padaku, “Apakah hakikat taubat itu?”. Aku jawab,

“hendaknya engkau tidak melupakan dosa-dosamu…”. Tapi pemuda itu mengatakan sebaliknya, “Tidak. Tapi justru hendaknya engkau melupakan dosa-dosamu..” Lalu pemuda itu keluar begitu saja.Kemudian al-Junayd menegaskan, “Ya, menurutku

yang benar adalah kata-kata si pemuda tadi. Karena itu jika aku berada di musim panas, lalu mengingat musim dingin, berarti aku berada di musim dingin.”

Pandangan As-Sary, benar, bagi para pemula. Sedangkan pandangan al-Junaid untuk mereka yang sudah sampai kepada Allah.Bagaimana respon mereka yang mencapai tahap

Ma’rifatullah? “Siapa yang ma’rifat kepada Allah maka semua dosa adalah kecil di sisi KemahamurahanNya.”Maksudnya, jika kita mengenal sifat dan Asma Allah yang Maha Murah, para hamba akan terus optimis terhadap ampunan Allah, karena tidak ada yang melebihi kebesaran dan keagungan ampunan Allah. Sampai-sampai Rasul Allah SAW, menegaskan dalam hadits, “Jika kalian semua berdosa, sampai dosa itu memenuhi langit, kemudian kalian bertobat, Allah pun mengampuni kalian. Jika sudah tidak ada lagi hambaNya yang berbuat dosa, lalu datang para hamba Allah yang berbuat dosa,

para hamba ini pun memohon ampun kepada Allah, maka Allah juga mengampuni mereka….. Karena sesungguhnya Allah Maha Ampun lagi Mengasihi.”

Namun, seorang hamba tidak boleh terjebak oleh ghurur, dengan alibi, mengabaikan dosa, dan menganggap enteng dosa-dosa itu.

 

Hal demikian ditegaskan lagi oleh Ibnu Athaillah:

“Tak ada dosa kecil jika anda berhadapan dengan KeadilanNya, dan tak ada dosa besar jika anda berhadapan dengan FadhalNya.”

Hikmah ini harus difahami di dunia ini dengan penafsiran demikian:

Apabila seorang hamba berbuat kepatuhan, ketaatan, ubudiyah, berarti itulah tanda bahwa sang hamba mendapatkan limpahan FadhalNya Allah.

Sebaliknya jika sang hamba bermaksiat, menuruti hawa nafsunya, berarti merupakan pertanda bahwa si hamba berhadapan dengan KeadilanNya.Tak ada yang lebih kita takutkan dibanding kita menghadapi Keadilan Allah, dan tak ada yang lebih dahsyat harapan kita dibanding kita menyongsong Fadhal dan RahmatNya.

 

Berasal dari-Nya, Bersama-Nya, Menuju kepada-Nya