Jangan Biarkan Hatimu
Mati
“Diantara
tanda-tanda matinya hati adalah jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan
keselarasan
taat kepada Allah, dan tidak menyesali perbuatan dosa anda.”
Hati
yang mati disebabkan oleh berbagai penyakit kronis yang menimpanya. Manakala hati seseorang tidak sehat, maka hati tentu sedang
terserang penyakit-penyakit hati. Penyakit hati itu begitu banyak yang terkumpul dalam organisasi Al-Madzmumat, dengan platform
gerakan yang penuh dengan ketercelaan dan kehinaan, seperti takabur,
ujub,
riya’, hubbuddunya(mencintai dunia), kufur, syirik, dan sifat-sifat tercela lainnya. Ketika sikap-sikap mazmumat ini
dihadapan pada kepentingan Allah, maka akan muncul tiga hal:
Manusia
semakin lari dari Allah, atau dia justru memanfaatkan simbol-simbol Allah untuk kepentingan hawa nafsunya, atau yang terakhir
dia dibuka hatinya oleh Allah melalui HidayahNya.
Ibnu
Ajibah menyimpulkan dari al-Hikam di atas, bahwa kematian hati (qalbu) karena tiga hal:
1. Mencintai dunia,
2. Alpa dari mengingat
Allah,
3. Membiarkan dirinya
bergelimang maksiat.
Sebaliknya
faktor yang menyebabkan hati hidup, juga ada tiga:
1. Zuhud dari dunia
2. Sibuk dizikrullah
3. Bersahabat dengan
Kekasih-kekasih Allah
sedangkan
tanda-tanda kematian hati juga ada tiga:
- Jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah.
- Tidak
menyesali dosa-dosanya.
- Bersahabat
dengan manusia-manusia yang lupa pada Allah yang hatinya sudah mati.
Kenapa
demikian? Karena munculnya kepatuhan kepada Allah merupakan tanda kebahagiaan hamba Allah, sedang munculnya hasrat kemaksiatan
merupakan tanda kecelakaan hamba. Apabila hati hidup dengan ma’rifat dan iman maka faktor yang
menyiksa
hati adalah segala bentuk yang membuat hati menderita berupa kemaksiatan hati kepada Allah. Yang membuatnya gembira adalah
faktor ubudiyah dan kepatuhannya kepada Allah.Boleh saja anda mengatakan: Jika seorang hamba Allah bisa taat dan
melaksanakan
ubudiyah, itulah tanda bahwa hamba mendapat Ridlo Allah. Hati yang hidup senantiasa merasakan Ridlo Allah, lalu bergembira
dengan ketaatan padaNya.
Jika
seorang hamba Allah bermaksiat kepadaNya, itulah pertanda Allah menurunkan amarahNya. Hati yang mati tidak merasakan apa-apa,
bahkan sentuhan taat dan derita maksiat tidak membuatnya gelisah. Sebagaimana yang dirasakan oleh mayit, tak ada rasa hidup
atau rasa mati.Rasulullah saw, bersabda, “Orang yang beriman adalah orang yang digembirakan oleh kebajikannya, dan dideritakan
oleh kemaksiatannya.”
Soal
Respon Terhadap Dosa Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan, agar dosa dan masa lalu, jangan sampai membelenggu hamba Allah, yang
menyebabkan sang hamba kehilangan harapan kepada Allah. Karena itu, rasa bersalah yang berlebihan yang terus menerus menghantui
hamba harus dibebaskan dari dalam dirinya. Sang hamba harus tetap optimis pada masa depan ruhaninya di depan Allah.
Kebesaran
ampunan Allah tidak bisa dilampaui oleh seluruh dosa-dosa hambaNya. Ampunan Allah lebih agung, lebih besar dan lebih kinasih,
pada hambaNya yang bertobat. Karena itu Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan
menyucikan diri.”Oleh sebab itu jangan sampai perbuatan maksiat itu membuat hamba-hamba Allah menjadi Su’udzon
kepada Allah.
“Dosa besar apa pun, jangan sampai menghalangi Husnudzon (baik sangka) anda kepada
Allah.”
Wacana
ini sekaligus mengingatkan kita pada pembuka kitab Al-Hikam, “Diantara tanda-tanda bergantung atau mengandalkan amal
adalah rasa pesimis kepada rahmat Allah ketika sang hamba berbuat dosa.”
Jika
anda masih mengandalkan amal, bukan mengandalkan Allah, berarti anda akan pesimis jika kesalahan menimpa anda. Padahal kita
harus menggantungkan diri pada Allah, mengandalkan Allah, bukan mengandalkan amal. Karena mengandalkan amal, bisa menciptakan
rasa arogansi spiritual, dengan merasa paling banyak beramal dan taat, kemudian merasa paling benar, paling dekat dengan Allah.
Dalam
soal harapan dan ketakutan, biasanya hamba terbagi menjadi tiga golongan;
- Golongan pemula, biasanya terliputi oleh rasa khawatir dan takut, dibanding dorongan
harapan.
- Golongan menengah, biasanya seimbang antara harapan dan ketakutannya.
- Golongan
yang sudah sampai kepada Allah, lebih didominasi rasa harapan yang optimis kepada Allah.
Inilah
yang tergambar pada saat gurunya Al-Junaid, Sarry as-Saqathy dalam kondisi
Maqbudl
(terhimpit oleh suasana ruhaninya dalam Genggaman Allah). “Ada apa gerangan wahai paman?” Tanya Junaid. “Oh, anakku, ada seorang
pemuda datang kepadaku, kemudian bertanya padaku, “Apakah hakikat taubat
itu?”. Aku jawab,
“hendaknya
engkau tidak melupakan dosa-dosamu…”. Tapi pemuda itu mengatakan sebaliknya, “Tidak. Tapi justru hendaknya
engkau melupakan dosa-dosamu..” Lalu pemuda itu keluar begitu saja.Kemudian al-Junayd menegaskan, “Ya, menurutku
yang
benar adalah kata-kata si pemuda tadi. Karena itu jika aku berada di musim panas, lalu mengingat musim dingin, berarti aku
berada di musim dingin.”
Pandangan
As-Sary, benar, bagi para pemula. Sedangkan pandangan al-Junaid untuk mereka yang sudah sampai kepada Allah.Bagaimana respon
mereka yang mencapai tahap
Ma’rifatullah?
“Siapa yang ma’rifat kepada Allah maka semua dosa adalah kecil di sisi KemahamurahanNya.”Maksudnya, jika
kita mengenal sifat dan Asma Allah yang Maha Murah, para hamba akan terus optimis terhadap ampunan Allah, karena tidak ada
yang melebihi kebesaran dan keagungan ampunan Allah. Sampai-sampai Rasul Allah SAW, menegaskan dalam hadits, “Jika kalian
semua berdosa, sampai dosa itu memenuhi langit, kemudian kalian bertobat, Allah pun mengampuni kalian. Jika sudah tidak ada
lagi hambaNya yang berbuat dosa, lalu datang para hamba Allah yang berbuat dosa,
para
hamba ini pun memohon ampun kepada Allah, maka Allah juga mengampuni mereka….. Karena sesungguhnya Allah Maha Ampun
lagi Mengasihi.”
Namun,
seorang hamba tidak boleh terjebak oleh ghurur, dengan alibi, mengabaikan dosa, dan menganggap enteng dosa-dosa itu.
Hal
demikian ditegaskan lagi oleh Ibnu Athaillah:
“Tak
ada dosa kecil jika anda berhadapan dengan KeadilanNya, dan tak ada dosa besar jika anda berhadapan dengan FadhalNya.”
Hikmah
ini harus difahami di dunia ini dengan penafsiran demikian:
Apabila
seorang hamba berbuat kepatuhan, ketaatan, ubudiyah, berarti itulah tanda bahwa sang hamba mendapatkan limpahan FadhalNya
Allah.
Sebaliknya
jika sang hamba bermaksiat, menuruti hawa nafsunya, berarti merupakan pertanda bahwa si hamba berhadapan dengan KeadilanNya.Tak
ada yang lebih kita takutkan dibanding kita menghadapi Keadilan Allah, dan tak ada yang lebih dahsyat harapan kita dibanding
kita menyongsong Fadhal dan RahmatNya.